Send As SMS
Send As SMS

Sunday, September 11, 2005

Berteman Dengan Kuman

Mungkin pikiranku sama dengan yang lainnya di sebuah daerah yang sangat dekat dengan ibukota negara ; Jakarta, tentunya tidak luput dengan angin globalisasi, futuristik, gaya hidup metropolitan, hedonisme dan sederet istilah yang menunjuk pada sebuah makna hidup modern. Paling tidak daerah ini pernah tertulis dalam sejarah proklamator negeri ini ketika akan memproklamasikan negara RI tanggal 17 Agustus 1945 setengah abad yang lalu.

Bahasa daerah yang digunakannya pun tidak begitu beda dengan bahasanya ”Mandra” tokoh betawi asli dalam serial TV si Doel. Karakter, bahasa tubuh menunjukkan Betawi kebanyakan. 40 km dari kota kabupaten lokasi yang akan kami kunjungi untuk ’pemotretan’ sekolah di Jawa Barat


Di perjalanan menuju dusun tersebut pikiranku melayang-layang saat mendengar dari salah seorang guide kami yang mengatakan bahwa “jalan raya ini baru selesai kemarin diaspal, untuk menyambut kami ‘tamu dari pusat’….”. Ya Tuhan….aku tersanjung sebagai ‘tamu dari pusat’ datang untuk menginfeksi. Aku pun menyangka, jalan raya pun mereka aspal untuk menyambut kami apalagi kalau kami datang di lokasi, mungkin red carpet pun akan di gelar.

Namun siapa sangka ternyata,......... semuanya sebuah paradoks. Bangunan sekolah dengan 3 kelas dengan dinding yang bolong-bolong, atap yang bukan lagi bocor tapi nyaris separuhnya bergelayut ke bawah, dinding pembatas kelas yang belepotan, tiang penyangga dimakan rayap, ditambah 1 ruang guru yang kondisinya sangat kumuh dengan kursi yang bolong dan melengkung ke bawah (baca:mengantong) sehingga jika mau berdiri setelah duduk sangat berat karena harus mengeluarkan energi ekstra. Murid di SD tersebut semuanya berjumlah 140 orang dengan dua shift yakni pagi pukul 7 sampai pukul 9.30 untuk kelas 1,2,3 dan pukul 10.00 sampai dengan pukul 12.30 untuk kelas 4,5,6. dalam sehari mereka belajar hanya 2,5 jam selain itu aku berpendapat nampaknya mereka tidak pernah merasa perlu ke toilet, karena sekolah tidak memiliki toilet (baca: WC)

Tidak habis sampai disitu keterkejutanku, ada pemandangan yang sangat menggelikan sekaligus memprihatinkan dan membuatku bergidik, mungkin bagi sebagian orang keadaan ini adalah hal yang sangat biasa dan wajar, sepanjang jalan yang kulalui memanjang sebuah kali yang bisa dibilang sumber penghidupan dan kehidupan masyarakat di situ, betapa tidak aktifitas keseharian seperti mandi, mencuci baju, mencuci piring, , memandikan kerbau, bebek , irigasi sawah bahkan buang air besar pun mereka lakukan di kali tersebut.

Hari kedua, ketika seorang Bapa Guru mengantarku ke penginapan 11 kilo di kota kecamatan kurang lebih 12 km dari sekolah, sambil memperhatikan aktifitas warga di sepanjang kali, aku bertanya
” Pak...mengapa mereka melakukannya di kali?”
” Iya Bu disini memang begini, sudah kebiasaan”
” Mengapa mereka tidak membuat sumur?”
”Bu...disini kita tidak bisa membuat sumur, air nya tidak enak asin dan gatal, jadi air kali satu-satunya sumber air di sini, karena airnya tawar”
” Pak, kalau air minum didapat dari mana? ” tanyaku lagi
” Ya...dari sini...” (gubrak......)
Rasanya perutku pun mau muntah, ingin kukeluarkan seluruh makanan dan minuman yang terlanjur kutelan kemarin, tapi...kucoba memahami dan memakluminya.

Benakku pun mulai sibuk mencerna, merorganisasi dan mentafakuri informasi yang baru kudengar, dalam diam aku bertanya mengapa mereka tidak sakit, padahal bakteri e-colli, kholera, tyfus ada di setiap denyut nadinya, karena bagaimana tidak, mandi, cuci, sikat gigi buang air bahkan minum pun dari air yang sama.

Tiba-tiba aku teringat istilah yang digunakan seorang teman pakar Biologi ”imunisasi alami”, ya...mungkin itu mereka menjadi kebal terhadap kuman, karena saat kuman akan masuk dan meyerang, tubuh mereka say hello ”hello...jangan menyerang kita teman, sesama teman tidak boleh saling menyerang” tapi bagaimana denganku, bukankah aku tidak biasa mengkonsumsi air kotor??

Selama 3 hari aku selalu was-was, kalau-kalau aku akan sakit. Kucoba tenangkan diri, kupasrah atas semua yang akan terjadi kepadaNya dan sampai aku kembali dari daerah tersebut, ternyata aku sehat.

Dari kejadian itu Aku pun mulai sadar dan membuktikan sendiri kalau sehat benar-benar milik Allah SWT, kita hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk bisa sehat.

Ketika di Karawang, 1 Oktober 2005
Rina Mutaqinah Taufik
www.muhasabahrinataufik.blogspot.com

Thursday, September 08, 2005

DIALOG AYAH DAN ANAK

Ketika kuperhatikan dia saat ada dalam gendonganku, aku selalu merasa was-was akan masa depan anakku kelak, aku sangat kuaatir kalau anakku akan berbeda jauh lebih buruk dariku.

“ Apa yang sedang Bapa pikirkan?”

”Aku..?’’ aku terkejut mendengar suaranya, terang sudah lama berganti gelapnya malam . Suara kodok terdengar dari kejauhan. Isteriku telah lelap. Dan di gendonganku, anakku dengan mata sipitnya dan rambut sedikit rada jocong tersenyum menatapku.

”Apa yang Bapa pikirkan?”

”Kau mengajakku bicara Nak?”

Dia hanya tersenyum

”Baik Nak, aku sedang berpikir tentang kau”

”Aku kuatir dengan masa depanmu“ kataku

”ha...ha...ha...”

”Kenapa kamu tertawa...”

”Orang tua selalu kuatir dengan masa depan anaknya, tetapi selalu gagal memberikan contoh dan teladan kepada anaknya untuk tumbuh menjadi manusia benar.”

”..Hush...kamu masih bayi ....tak patut berkata seperti itu...“

”Orang tua selalu begitu, takut dikritik tak mau mengaca diri dan selalu berlindung dibalik ketuaan dan keegoisan diri, dan berkata kalau tak egois bukan Bapa tapi banci.... Bukankah Bapa ingin mengatakan kalau saya adalah anak kemarin sore yang belum tahu indahnya Paris atau betapa sulitnya menjadi kaya di tanah air? dan bapak sudah kenyang dengan asam garam kehidupan?”

”Sejujurnya aku mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku takut ketika kelak kau dewasa, aku tak bisa toleran melihat keliaran dan keberanianmu menjebol tatanan orang dewasa ”

”Bukankah Bapa sendiri cukup liar? Misalnya ketika Bapa memberontak dengan memanjangkan rambut, menghisap rokok dan berkeliaran sampai pagi ketika masih SMA dulu”

”Begitulah, apakah aku cukup toleran ketika kau memakai anting2 di hidungmu?”

”Sebentar pa, apakah bapa bisa bantu aku membetulkan popokku yang melorot ke bawah?”

”OK”

”Nah begitu lebih baik..., kembali ke soal tadi...bukankah Bapa juga menikmati keliaran ketika Bapa memutuskan untuk keluar kuliah dan memilih jadi pemain band, padahal kakek berharap bapa jadi insinyur?”

”Aku takut kelak apa aku cukup toleran ketika kau memutuskan untuk berhenti kuliah sama sekali dan memilih jadi pembalap, sementara aku berharap kau jadi pengusaha atau konglomerat”

”Bapa juga menikmati keliaran ketika mempermainkan banyak wanita”

”Begitulah, aku pun tidak tahu apa aku cukup toleran ketika kau banyak mempermainkan dan bergantian cewek tanpa satu pun kau nikahi”

”Bapa, kemarilah...ada yang ingin aku bisikkan, bukankah Bapa akhir-akhir ini menikmati keliaran Bapa dengan berteman dengan banyak wanita tanpa sepengetahuan ibu???”

” Apa sekarang pun Bapa menikmati keliaran dengan alkohol dan dunia malam”

”Ssssttt...anakku aku akan menghentikannya, aku tidak akan tahan jika kau kelak begitu”

”Baiklah pa, adakah cara yang tepat agar aku tidak terjebak seperti Bapa sekarang?”

”Temukan ilmu dan amalkan dalam hidupmu, carilah teman yang baik dan benar , janganlah kau menyerah dengan keadaan, juga selalulah menerima kritik dan masukan dari siapa pun dengan lapang dada, maka kau akan temukan kebahagian yang tak ternilai kau akan mendapatkan rasa kecukupan dalam hidupmu karena di hatimu cukuplah Allah yang akan jadi penolongmu................”