Send As SMS
Send As SMS

Friday, January 27, 2006

Zero Activity

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perilaku yang tiada berguna(Lagwah)………” QS Al Mu’minuun ayat 1-3

Sebagai mukmin kita dituntut untuk selalu mengoreksi, mengevaluasi diri setiap saat, setiap waktu agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu dan kesempatan yang sama. Merugilah orang-orang yang hari kemarin sama dengan hari ini dan hari esok sama dengan hari ini. Sabda rasulullah itu mengisyaratkan bahwa kita harus selalu improving setiap hari, sehingga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.

Dalam rutinitas keseharian tentunya kita sering terjebak dengan suatu aktifitas yang tidak bermanfaat yaitu aktifitas yang tak bernilai positif dan juga tak bernilai negative baik disadari atau tidak. Kebanyakan kita tidak menyadari apa yang sedang kita lakukan, baru sadar setelah kita dihadapkan pada sebuah masalah.

Dalam QS. Adz Dzaariyat:56
“ Dan tidak semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kehadapanKu”.

Sebagai seorang mukmin tentunya hidup kita adalah bentuk pengabdian ke hadapan sang Kholik, semua gerak yang kita lakukan baik gerakan yang disadari atau gerakan yang tidak disadari merupakan ibadah, detak jantung, kedipan mata, denyut nadi, makan, tidur belajar, kerja semuanya harus bernilai ibadah sehingga tidak akan ada satu detik pun satu aktifitas kecil pun terbuang sia-sia.

Waktu adalah amanah terbesar setelah Iman Islam dari Allah SWT, setiap manusia memiliki jumlah waktu yang sama dalam sehari (24 jam) namun ada manusia dengan jumlah waktu tersebut mampu melakukan berpuluh –puluh aktifitas yang produktif dan ada juga manusia yang hanya tidak memanfaatkan waktu semaksimal mungkin sehingga dalam sehari tak satu pun aktifitas yang dilakukannya produktif. Seorang mukmin seharusnya mampu disiplin terhadap waktu sebab Allah pun pernah berjanji demi waktu QS. Al Ashr : 1-3 :
”Demi waktu sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian , kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran”

Oleh karena itu seorang mukmin dituntut untuk mampu memanfaatkan waktu seoptimal dan seproduktif mungkin, me-manage dan mengorganisasikannya dengan sebaik-baiknya.

Zero activity (baca: aktifitas tak bernilai atau Lagwah) merupakan perbuatan yang menyita waktu, dan tidak bernilai ibadah di hadapan Allah SWT. Dalam QS Al Mukminun ayat 3, seperti dikutip diatas Allah menyebutkan perbuatan lagwah, yaitu perbuatan yang bernilai 0

Kita kadang-kadang kesulitan untuk mendefinisikan aktifitas yang kita lakukan bernilai ibadah atau tidak karena kita senantiasa mencari pembenaran diri melalui ayat-ayat Allah atau logika yang dibuat selogis mungkin agar orang lain dapat memaklumi, toleran dan menerimanya sehingga kita tidak merasa guilty.

Sebenarnya pembenaran diri adalah gambaran sikap mental yang ’sakit’ karena ia sedang membodohi dirinya sendiri, tidak untuk Allah.

Apa saja yang terkategori zero activity?

Dari ayat pertama di atas menunjukkan bahwa salah satu sifat seorang mukmin adalah ia selalu menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia. Diantaranya perbuatan yang dimaksud termasuk seperti
- Obrolan sia-sia
- Tontonan TV dan radio sia-sia
- Kesenangan/ hobby yang sia-sia
- Melamun yang sia-sia
- Keisengan yang sia-sia

Termasuk lagwah atau tidak aktifitas yang kita lakukan? sangat relatif, bergantung pada seberapa besar manfaat yang akan diperoleh oleh seseorang, dan ini dipengaruhi oleh faktor subyektifitas seseorang. Tetapi paling tidak mukmin memiliki patokan ketika akan memulai suatu aktifitas dengan ”Sukakah Allah dengan apa yang akan aku lakukan?”. Ini akan menjadi kontrol bagi diri sehingga lepas dari intervensi pribadi/ hawahu.

Zero Activity Versus Negative Activity

Sebuah aktifitas yang tak bernilai merupakan aktifitas yang merugikan karena membuang waktu dan energi, tapi akan jauh lebih merugi manakala aktifitas tersebut bergeser sedikit menjadi aktifitas negatif artinya aktifitas yang bernilai dosa, aktifitas model beginilah yang akan menghancurkan seluruh amalan baik, yang menjadi perantara bagi kita menuju pintu neraka laknatullah.

Ada perbedaan yang sangat tipis sekali dalam mengkategorikan aktifitas nol dengan negatif karena negatif selalu dimulai dengan aktifitas nol artinya saat kita lengah, saat kita memiliki waktu yang tidak produktif maka kita rentan tergoda oleh syetan. Tadinya kita mengobrol mengenai model pakaian yang sedang trend misalnya, maka tiba-tiba secara tidak sadar kita sudah membicarakan cara berpakaian teman kita yang selalu tidak matching maka terperangkaplah kita dengan perbuatan ghibah (menggunjing/ mengupat orang lain). Mulanya hanya kumpul-kumpul dengan teman, lama-lama mengajak ke Pub dan akhirnya meneguk alkohol dan nge-drug

Disinilah hebatnya syetan dalam menggoda manusia, maka berhati-hatilah dalam melakukan aktifitas yang minim manfaat atau bahkan tak bermanfaat sama sekali.

Wallahualam bishowab
Rina Mutaqinah







.

Seharusnya berkarya seni seperti apa?.........

Inna Allhuma jamilun wa yuhibbu al-jamil (sebuah hadits) yang artinya sesungguhnya Allah itu Maha indah dan mencintai keindahan.

Sebelum Islam datang, paradigma yang berkembang di kalangan seniman Arab adalah “ ”seni untuk seni” mereka menghasilkan karya seni hanya semata-mata pemuas nafsu belaka, sehingga Rasulullah menyerang habis-habisan pada para penyair yang karya seninya berisi eksploitasi nafsu semata seperti dalam QS As Syu’ra : 244 “
Para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat…..”

Seni untuk seni ini juga lah yang berkembang di masyarakat kita saat ini; fornografi, fornoaksi yang dinilai oleh seniman kita sebagai sebuah maha karya seni (audzubillah...) mereka tidak mengenal tanggung jawab moral dan kemanusiaan. Tayangan TV, sinetron, pagelaran musik, tayangan iklan sekali pun tak henti-hentinya mempertontonkan erotisasi tubuh, kemegahan hidup, betapa nikmatnya hidup serba kecukupan dan simbol-simbol kekayaan dan glamoritas lainnya yang semuanya sangat jauh dari kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kita tidak menampik kalau dalam tayangan seni di TV pun ada nilai positif yang mereka bawa, namun nilai positif tersebut tertutupi oleh gumpalan kabut hitam, bagai sebuah bungkusan dus kado yang besar ketika dibuka berisi dus kado di dalamnya, ketika dibuka dus yang kedua berisi dus kado lagi didalamnya begitu seterusnya sampai ditemukan sebongkah pasir dalam dus yang terakhir. Itulah kenyataan yang ada dunia seni kita saat ini.

Kenapa seniman kita sekarang ini bisa menciptakan karya-karya yang hanya menjadi pemuas nafsu belaka? Jawaban yang sering diutarakan adalah ’kebebasan’ . Kita memang sudah sepakat dalam seni ada kebebasan, tapi bukan kebebasan yang sudah tidak menghiraukan akal dan hati nurani, tetapi kebebasan yang menyadari kekuatan maha indah yang mengikatnya untuk tunduk.

Seni itu keindahan, keindahan yang bermuara pada perasaan halus seseorang dengan sifatnya yang menggetarkan. Getaran ini terjadi secara langsung ketika seseorang mendengar, melihat sesuatu yang bernilai estetika. Seorang mukmin sering merasakan getaran itu ketika dibacakannya ayat-ayat Allah seperti firman allah SWT :
QS. Al Anfaal:2

” Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang-orang ketika disebutkan asma Allah maka bergetarlah hatinya, apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah segera bertambahlah iman segera bertambahlah iman mereka dan mereka bertakwa kepada Tuhannya”

Dalam filsafat keindahan terbagi dua : natural dan artifisial. Keindahan alam dan seisinya merupakan keindahan natural, sedangkan keindahan karya seni bikinan manusia termasuk keindahan artifisial.

Keindahan natural (alam) pada hakikatnya merupakan keindahan Ilahi. Alam berguna sebagai media sakramen pengambaran terhadap yang Maha Tak Terlihat. Penghayatan dan penjiwaan akan alam membawa kita pada satu kesadaran dan keindahan transenden, yang kemudian membuat pribadi seseorang merasakan adanya kelembutan dan kehalusan yang dalam mendorong jiwa seseorang menjadi lebih halus, lebih rendah diri dan akhirnya menyelaraskan hidupnya dengan harmoni alam, bertasbih, ruku dan sujud pada yang menciptakannya.

Sedangkan keindahan artifisial pada hakikatnya merupakan sebuah tiruan keindahan alam, sesuai namanya ”seni” berasal dari bahasa Yunani mimetik=imitasi merupakan hubungan imitasi dari objek-objek di dunia yang merupakan bentuk tak sempurna dari bentuk yang ideal.

Ketika seorang mukmin menciptakan karya seni, mereka manumpahkan segenap perasaannya untuk bisa menggetarkan ruhaniahnya serta bisa mengalirkannya ke muara kasih sayang dan kemanusiaan, seiring dengan penghayatannya dan pengolahan nilai rasa yang terus berproses di kehidupannya menghasilkan pengalaman spiritual yang pada akhirnya akan membawa kita melebur dalam keindahan dan kebenaran universal.

Saat ini fenomena yang berkembang mendefinisikan karya seni Islami sangat identik dengan kaligrafi, musik nasyid, qasidah, monumen mesjid jika demikian miskin sekali karya seni Islam. Sebenarnya jika seni identik dengan keindahan maka Islam memandang segala sesuatu sebagai suatu karya indah manakala mampu membangkitkan nilai-nilai estetika yang mampu mendekatkan manusia dengan sang maha pencipta keindahan, sehingga bernilai ibadah.

Fauz Noor dalam bukunya menyebutkan Nilai estetis itu terrangkum dalam 3 prinsip ideal: yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Ketika seorang seniman kembali pada realitas kehidupanm masyarakat, penegasan akan kebenaran itu akan membumi.

Seni dalam Islam adalah seni yang bertanggung jawab yang mempunyai komitmen terhadap masyarakat serta memberikan pencerahan dan keselamatan. Disinilah kita harus meramu seni dengan unsur solidaritas sosial. Seni seharusnya dibentuk mendapatkan pengalaman estetika sehingga mampu menyentuh dimensi spiritual manusia.

Pengalaman estetika keagamaan yang bersifat spiritual yang pada akhirnya akan mengantarkan kita ke sebuah dialog iman melalui seni. Dalam suatu ritus keagamaan yang sanggup memberikan pengalaman estetis keagamaan, kita akan memasuki satu dunia maha indah, satu dunia yang disinari cahaya Ilahi. Oleh karena itu pengalaman estetika dan pengalaman spiritual pada akhirnya akan bertemu dalam kedewasaan berpikir dengan mengakui bahwa hakikatnya semua itu menghantarkan manusia dekat dengan Allah serta mengakui kebesaran Allah

Tuesday, January 24, 2006

Belajar Tidak Makan

“ You are what you eat’
kamu adalah seperti apa yang kau makan


Formalin, borax, pewarna tekstil dan bakso daging tikus menjadi sangat heboh akhir-akhir ini, menjadi head line di beberapa surat kabar. Bagai gunung es yang mulai mencair issu ini menjadi santer, padahal selama 20 tahun para pedagang dan pengusaha sudah menggunakannya terutama formalin sebagai suatu obat yang dapat mengawetkan makanan tanpa merubah rasa dan warna dan lebih murah.

Pemerintah nampaknya harus jeli dan bijak menanggapi masalah ini, selain membuat resah masyarakat juga membuat para pedagang dan pengusaha gulung tikar dibuatnya, yang lebih dirugikan adalah para pedagang dan pengusaha yang tidak termasuk kategori ’nakal’ atau bodoh

Bukan tidak mungkin praktek ini dilakukan para pedagang dan pengusaha karena ketidaktahuan mereka akan besarnya efek yang ditimbulkan oleh obat-obat tersebut, yang mereka tahu hanya bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang mudah dan murah.

Ada sisi yang bisa kita telaah lebih mendalam, ”mengapa issu ini menjadi sangat mencuat belakangan ini?,

Di tengah-tengah keresahan yang dialami masyarakat tentunya ada pembelajaran bagi kita semua untuk selalu waspada mengkonsumsi berbagai produk makanan.

Makanan yang kita konsumsi saat ini selalu lekat dengan bahan-bahan kimiawi sekalipun sayuran tapi pestisida yang digunakan pun menjadi bom waktu bagi tubuh kita untuk menyimpannya dalam tubuh menjadi pemicu berbagai macam penyakit.

Lalu harus bagaimanakah kita saat ini??. Tulisan ini tidak bermaksud membuat kita semua untuk berhenti makan tapi berhentilah makan makanan yang mengandung ’racun’.

Dalam Al Qur’an Allah mengatakan dengan sangat jelas dalam surat (al-Baqarah: 172)
Wahai orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah.


Seorang mukmin hendaknya menjaga makanannya dari makanan haram, tidak toyyibah dan meragukan (subhat), artinya Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halalan toyyibah

Jadi ingat saat masa kecil di kampung, kalau mau makan tinggal ambil di kebun belakang rumah. Ada kacang panjang, cabe rawit, kencur, ikan