Send As SMS
Send As SMS

Friday, January 27, 2006

Seharusnya berkarya seni seperti apa?.........

Inna Allhuma jamilun wa yuhibbu al-jamil (sebuah hadits) yang artinya sesungguhnya Allah itu Maha indah dan mencintai keindahan.

Sebelum Islam datang, paradigma yang berkembang di kalangan seniman Arab adalah “ ”seni untuk seni” mereka menghasilkan karya seni hanya semata-mata pemuas nafsu belaka, sehingga Rasulullah menyerang habis-habisan pada para penyair yang karya seninya berisi eksploitasi nafsu semata seperti dalam QS As Syu’ra : 244 “
Para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat…..”

Seni untuk seni ini juga lah yang berkembang di masyarakat kita saat ini; fornografi, fornoaksi yang dinilai oleh seniman kita sebagai sebuah maha karya seni (audzubillah...) mereka tidak mengenal tanggung jawab moral dan kemanusiaan. Tayangan TV, sinetron, pagelaran musik, tayangan iklan sekali pun tak henti-hentinya mempertontonkan erotisasi tubuh, kemegahan hidup, betapa nikmatnya hidup serba kecukupan dan simbol-simbol kekayaan dan glamoritas lainnya yang semuanya sangat jauh dari kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kita tidak menampik kalau dalam tayangan seni di TV pun ada nilai positif yang mereka bawa, namun nilai positif tersebut tertutupi oleh gumpalan kabut hitam, bagai sebuah bungkusan dus kado yang besar ketika dibuka berisi dus kado di dalamnya, ketika dibuka dus yang kedua berisi dus kado lagi didalamnya begitu seterusnya sampai ditemukan sebongkah pasir dalam dus yang terakhir. Itulah kenyataan yang ada dunia seni kita saat ini.

Kenapa seniman kita sekarang ini bisa menciptakan karya-karya yang hanya menjadi pemuas nafsu belaka? Jawaban yang sering diutarakan adalah ’kebebasan’ . Kita memang sudah sepakat dalam seni ada kebebasan, tapi bukan kebebasan yang sudah tidak menghiraukan akal dan hati nurani, tetapi kebebasan yang menyadari kekuatan maha indah yang mengikatnya untuk tunduk.

Seni itu keindahan, keindahan yang bermuara pada perasaan halus seseorang dengan sifatnya yang menggetarkan. Getaran ini terjadi secara langsung ketika seseorang mendengar, melihat sesuatu yang bernilai estetika. Seorang mukmin sering merasakan getaran itu ketika dibacakannya ayat-ayat Allah seperti firman allah SWT :
QS. Al Anfaal:2

” Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang-orang ketika disebutkan asma Allah maka bergetarlah hatinya, apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah segera bertambahlah iman segera bertambahlah iman mereka dan mereka bertakwa kepada Tuhannya”

Dalam filsafat keindahan terbagi dua : natural dan artifisial. Keindahan alam dan seisinya merupakan keindahan natural, sedangkan keindahan karya seni bikinan manusia termasuk keindahan artifisial.

Keindahan natural (alam) pada hakikatnya merupakan keindahan Ilahi. Alam berguna sebagai media sakramen pengambaran terhadap yang Maha Tak Terlihat. Penghayatan dan penjiwaan akan alam membawa kita pada satu kesadaran dan keindahan transenden, yang kemudian membuat pribadi seseorang merasakan adanya kelembutan dan kehalusan yang dalam mendorong jiwa seseorang menjadi lebih halus, lebih rendah diri dan akhirnya menyelaraskan hidupnya dengan harmoni alam, bertasbih, ruku dan sujud pada yang menciptakannya.

Sedangkan keindahan artifisial pada hakikatnya merupakan sebuah tiruan keindahan alam, sesuai namanya ”seni” berasal dari bahasa Yunani mimetik=imitasi merupakan hubungan imitasi dari objek-objek di dunia yang merupakan bentuk tak sempurna dari bentuk yang ideal.

Ketika seorang mukmin menciptakan karya seni, mereka manumpahkan segenap perasaannya untuk bisa menggetarkan ruhaniahnya serta bisa mengalirkannya ke muara kasih sayang dan kemanusiaan, seiring dengan penghayatannya dan pengolahan nilai rasa yang terus berproses di kehidupannya menghasilkan pengalaman spiritual yang pada akhirnya akan membawa kita melebur dalam keindahan dan kebenaran universal.

Saat ini fenomena yang berkembang mendefinisikan karya seni Islami sangat identik dengan kaligrafi, musik nasyid, qasidah, monumen mesjid jika demikian miskin sekali karya seni Islam. Sebenarnya jika seni identik dengan keindahan maka Islam memandang segala sesuatu sebagai suatu karya indah manakala mampu membangkitkan nilai-nilai estetika yang mampu mendekatkan manusia dengan sang maha pencipta keindahan, sehingga bernilai ibadah.

Fauz Noor dalam bukunya menyebutkan Nilai estetis itu terrangkum dalam 3 prinsip ideal: yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Ketika seorang seniman kembali pada realitas kehidupanm masyarakat, penegasan akan kebenaran itu akan membumi.

Seni dalam Islam adalah seni yang bertanggung jawab yang mempunyai komitmen terhadap masyarakat serta memberikan pencerahan dan keselamatan. Disinilah kita harus meramu seni dengan unsur solidaritas sosial. Seni seharusnya dibentuk mendapatkan pengalaman estetika sehingga mampu menyentuh dimensi spiritual manusia.

Pengalaman estetika keagamaan yang bersifat spiritual yang pada akhirnya akan mengantarkan kita ke sebuah dialog iman melalui seni. Dalam suatu ritus keagamaan yang sanggup memberikan pengalaman estetis keagamaan, kita akan memasuki satu dunia maha indah, satu dunia yang disinari cahaya Ilahi. Oleh karena itu pengalaman estetika dan pengalaman spiritual pada akhirnya akan bertemu dalam kedewasaan berpikir dengan mengakui bahwa hakikatnya semua itu menghantarkan manusia dekat dengan Allah serta mengakui kebesaran Allah

0 Comments:

Post a Comment

<< Home